Kutukatakutu ALt

Karya Kedelapan-Tantangan 41 Hari Menulis

                                Aku, Senja, Perpustakaan dan Manusia yang Kunamai Makhluk Astral

Oleh: Chusnul C

   Saya tidak tahu ini komentar, atau balasan untuk puisi Aan Mansyur yang berjudul “Jendela Perpustakaan”.

   Hingga detik ini aku belum juga mengerti, mengapa aku sedikit membenci perpustakaan di sore hari

    Kala senja menyapa di pondasi hingga atap perpustakaan. Menyebar ke penjuru ruangan.
    Pada saat itu, pustakawan tak lagi memunculkan wajah damainya. Ia mulai bersungut seolah tanpa ampun. Suara yang biasa merdu mulai meredup. Sedang si pengunjung, memasang wajah memelas seperti seorang pengemis yang belum makan selama sewindu. Hanya demi mendapatkan izin untuk meminjam atau mengembalikan buku. Atau sekedar masuk ke dalam perpustakaan saja. Di detik-detik ditutupnya pintu perpustakaan. Dan tentang jendela. Ahh.. Interpretasi yang cukup rumit.

Jendela Perpustakaan

Karya: Aan Mansyur

Langit menyentuh buku-buku pada sore hari
Ketika para pengunjung diminta berhenti membaca
Seorang petugas akan menutupnya dan tidak menyadari pertemuan singkat mereka yang hangat..
Perpisahan dan warna masa kecil itu tiba-tiba musnah
Orang-orang pulang dengan pikiran lama di kepala
Lampu-lampu dipadamkan dengan alasan penghematan
Buku-buku tidak bisa membaca diri mereka sendiri
Malam akan datang dan kesunyian menyusun dirinya kembali
Di depan perpustakaan langit masih menatap jendela tertutup itu tanpa berkedip...
Aku tidak ingin cepat sampai di rumah
Kubiarkan langit yang sedih menyentuh kepalaku
Orang-orang tergesa dan tidak membawa buku
Mereka berbahaya dan tidak waspada
Dijalan menuju rumah aku ingin memikirkan semua bunyi-bunyian
Bahkan yang paling jauh- dan tidak ingin mengerti apa-apa
Di rumah hanya ingin ku renungkan diriku dan seluruh yang tidak ingin ku lupakan
Jika mimpi datang, aku ingin jadi jendela yang luas untuk langit, buku-buku dan kau..


Makassar, 18 Juli 2016




      Setelah saya membacanya dengan seksama. Serta dengan setengah tertidurnya. Puisi ini mengingatkan saya dengan seorang teman yang .. Entahlah.. Saya lebih suka menyebutnya Makhluk Astral. Saya pikir dia adalah orang yang sangat membosankan. Lebih membosankan dari diktat kuliah yang tebal, yang tidak bisa saya pahami isinya. 
      Dia juga lebih memuakkan. Dari secuplis hiperbola saya ini. Entah cara bicaranya yang aneh, atau cara berpikirnya yang jauh menjadikan saya sosok yang antagonis. Ah.. sudahlah.. Rongrongan yang sedikit tak manfaat. Intinya.. Cara berpikir dari Makhluk Astral ini berbanding terbalik dengan saya yang lebih suka berpikir dengan otak kanan saya.



Untukmu, Manusia yang Kunamai Makhluk Astral


Sejenak senja telah mempertemukan kita
Secuil dari sebuah perkenalan
Memunculkan bait pertemuan
Yang berlanjut..

Awalnya aku memungut seutas kagum
Memanggil pertemuan
Di senja
Di perpustakaan
Membahas nalar logika yang..
Belum ku pahami cara mainnya..
Sudahlah.. 
Ini bukan main papan hitam-putih, sayang..


Cara berlogika yang sok rasionalis..
Kau terlalu serius untuk itu..
Kau selalu bicara pada dirimu sendiri..
Lantas kau anggap aku apa?


Seonggok patung?
Secercah bayangan?


Haha..
Kau hanya mencuri waktuku hingga dekat maghrib saja

Kau bicara panjang lebar..
Seolah nalar dan logisme milikmu..
Dapat dimafhum oleh seupik otak milikku..


Ahh.. Yang benar saja, sayang..Andai kau tau,
betapa memuaknya aku..
Pada pertemuan-pertemuan senja itu ..


Kota Dingin, Malam hari ditemani Hujan.
19 Desember 2017.

Posting Komentar