Oleh: Chusnul C
Hingga detik ini aku belum juga mengerti, mengapa aku sedikit membenci perpustakaan di sore hari.
Kala senja menyapa di pondasi hingga atap perpustakaan. Menyebar ke penjuru ruangan.
Pada saat itu, pustakawan tak lagi memunculkan wajah damainya. Ia mulai bersungut seolah tanpa ampun. Suara yang biasa merdu mulai meredup. Sedang si pengunjung, memasang wajah memelas seperti seorang pengemis yang belum makan selama sewindu. Hanya demi mendapatkan izin untuk meminjam atau mengembalikan buku. Atau sekedar masuk ke dalam perpustakaan saja. Di detik-detik ditutupnya pintu perpustakaan. Dan tentang jendela. Ahh.. Interpretasi yang cukup rumit.
Jendela Perpustakaan
Karya: Aan Mansyur
Langit
menyentuh buku-buku pada sore hari
Ketika para
pengunjung diminta berhenti membaca
Seorang
petugas akan menutupnya dan tidak menyadari pertemuan singkat mereka yang
hangat..
Perpisahan
dan warna masa kecil itu tiba-tiba musnah
Orang-orang
pulang dengan pikiran lama di kepala
Lampu-lampu
dipadamkan dengan alasan penghematan
Buku-buku
tidak bisa membaca diri mereka sendiri
Malam akan
datang dan kesunyian menyusun dirinya kembali
Di depan
perpustakaan langit masih menatap jendela tertutup itu tanpa berkedip...
Aku tidak
ingin cepat sampai di rumah
Kubiarkan
langit yang sedih menyentuh kepalaku
Orang-orang
tergesa dan tidak membawa buku
Mereka
berbahaya dan tidak waspada
Dijalan menuju
rumah aku ingin memikirkan semua bunyi-bunyian
Bahkan yang
paling jauh- dan tidak ingin mengerti apa-apa
Di rumah
hanya ingin ku renungkan diriku dan seluruh yang tidak ingin ku lupakan
Jika mimpi
datang, aku ingin jadi jendela yang luas untuk langit, buku-buku dan kau..
Makassar, 18 Juli 2016
Setelah saya membacanya dengan seksama. Serta dengan setengah
tertidurnya. Puisi ini mengingatkan saya dengan seorang teman yang .. Entahlah..
Saya lebih suka menyebutnya Makhluk
Astral. Saya pikir dia adalah orang yang sangat membosankan. Lebih membosankan
dari diktat kuliah yang tebal, yang tidak bisa saya pahami isinya.
Dia juga lebih memuakkan. Dari secuplis hiperbola saya ini. Entah
cara bicaranya yang aneh, atau cara berpikirnya yang jauh menjadikan
saya sosok yang antagonis. Ah.. sudahlah.. Rongrongan yang sedikit tak
manfaat. Intinya.. Cara berpikir dari Makhluk Astral ini berbanding terbalik dengan saya yang lebih suka berpikir dengan otak kanan saya.
Untukmu, Manusia yang Kunamai Makhluk Astral
Sejenak senja telah mempertemukan kita
Secuil dari sebuah perkenalan
Memunculkan bait pertemuan
Yang berlanjut..
Awalnya aku memungut seutas kagum
Memanggil pertemuan
Di senja
Di perpustakaan
Membahas nalar logika yang..
Belum ku pahami cara mainnya..
Sudahlah..
Ini bukan main papan hitam-putih, sayang..
Cara berlogika yang sok rasionalis..
Kau terlalu serius untuk itu..
Kau selalu bicara pada dirimu sendiri..
Lantas kau anggap aku apa?
Seonggok patung?
Secercah bayangan?
Haha..
Kau hanya mencuri waktuku hingga dekat maghrib saja
Kau bicara panjang lebar..
Seolah nalar dan logisme milikmu..
Dapat dimafhum oleh seupik otak milikku..
betapa memuaknya aku..
Pada pertemuan-pertemuan senja itu ..
Kota Dingin, Malam hari ditemani Hujan.
19 Desember 2017.
Posting Komentar