Ndun sedang berdiri di depan cermin kamarnya. Dengan penuh percaya diri, ia mengangkat tangan dan mulai berlatih adzan. “Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Suaranya menggema, meski terdengar sedikit serak.
Namun, mendadak suaranya tersendat. “Eh, kok tenggorokanku sakit?” Ndun mencoba lagi, tapi suaranya malah terdengar seperti kucing yang baru belajar mengeong.
Ia panik. “Bu! Suara Ndun kenapa, yo?” teriaknya sambil berlari ke dapur. Ia lupa beberapa hari ini sudah sering berteriak dengan suara cukup keras.
Bu Sih yang sedang menggoreng pisang menoleh. “Lah Ndun, kamu lupa to beberapa hari ini latihan suaranya lumayan keras?”
Ndun menatap Bu Sih kebingungan sambil mengerutkan dahinya.
“Istirahat sebentar gak papa lho Ndun, kalau diteruskan habis suaramu nanti.”
“Tapi lombanya kan sebentar lagi, Bu!” Ndun memprotes.
“Kalau kamu masih maksa, nanti malah suaramu hilang Le. Sini, minum air madu dulu,” kata Bu Sih sambil menuangkan madu ke dalam gelas.
Ndun meminum air madu itu sambil merenung. Bagaimana mungkin ia bisa menang kalau suaranya malah hilang?
Keesokan harinya, Ndun tetap bersikeras untuk berlatih. Tapi begitu ia mulai, suaranya kembali serak, ia tampak kebingungan. Di TPQ, ia bahkan mendapat komentar dari temannya, Akmal.
“Ndun, adzanmu kayak radio rusak, piye to kok maksa banget gitu?” Akmal meledek sambil tertawa.
“Sudah, Ndun. Kamu istirahat saja dulu ya,” ucap Ustadzah Sofi saat melewati Ndun dan Akmal di teras TPQ.
“Kalau suara kamu dipaksakan, nanti malah nggak sembuh lho,” ucap Ustadzah Sofi lagi.
Ndun mengangguk lesu. Ia akhirnya duduk diam di teras TPQ sambil melihat teman-temannya berlatih. Dalam hatinya, ia merasa kecewa. Ndun pun memutuskan untuk segera pulang saja.
Malam itu, Pak Bambang mendekati Ndun yang sedang memeluk lutut di kamar. “Le, kamu kenapa to kok kelihatan sedih?”
“Suara Ndun serak, Yah. Aku takut nggak bisa ikut lomba,” jawabnya dengan suara pelan.
Pak Bambang tersenyum dan berkata, “Kamu tahu, Ndun? Dalam Islam, adzan itu bukan soal suara paling bagus, tapi soal niat yang tulus. Kalau kamu tetap berusaha, insya Allah akan ada jalan.”
Kata-kata Pak Bambang membuat Ndun sedikit lega. Mulai saat itu, ia fokus pada pemulihan suaranya. Ia minum air hangat, makan permen jahe, dan mengurangi bicara berlebihan.
Hari demi hari, suaranya perlahan membaik. Suatu sore, ia mencoba lagi. “Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Kali ini suaranya terdengar jernih. Ndun tersenyum lebar.
“Bu, Ayah! Ndun siap ikut lomba!” serunya penuh semangat.
Posting Komentar