Kutukatakutu ALt

Cerita Mini: Lomba dan Harapan

Cerita Mini: Lomba dan Harapan

Usai hari-hari penuh dengan latihan, Ndun mulai merasakan bahwa suaranya makin merdu. Setiap kali ia melantunkan azan di depan cermin, ia merasa seperti muazin terkenal dengan suara merdu. Tapi, di balik rasa percaya diri itu, ia juga menghadapi tantangan yang membuatnya garuk-garuk kepala.

Satu minggu sebelum lomba adzan Ndun sakit batuk, dan ia bingung harus bagaimana supaya lekas sembuh. Malam itu, Ndun merenung di kamarnya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang salah. "Mungkin aku harus lebih banyak minum air putih," gumamnya sambil menenggak segelas besar air hangat.
 
Keesokan harinya, Ndun memaksa Bu Sih untuk segera ke puskesmas, ia berharap agar segera dapat obat batuk, dan suaranya pulih. Sepulang sekolah Ndun dan Bu Sih pergi ke puskesmas. Menurut dokter yang menangani, Ndun terkena radang tenggorokan. 

Setelah mengingat lagi Ndun baru ingat kalau sudah tiga hari berturut-turut ia beli cireng pedas di depan sekolah. Lalu, Ndun mengatakan hal tersebut kepada dokter. Kemudian barulah Ndun mendapatkan obat dan segera kembali ke rumah.

Sorenya, Bu Sih menyarankan pada Ndun untuk istirahat selama tiga hari dulu. Tapi Ndun khawatir kalau waktunya mepet ia tak sempat latihan. Ia tetap bersikeras latihan. Namun, Bu Sih meyakinkan Ndun kalau empat hari itu akan sempat untuk berlatih.

Akhirnya, hari yang dinanti-nanti tiba. Lomba azan digelar di lapangan dekat TPQ, dengan puluhan peserta yang ternyata ada dari kampung yang berbeda. Ndun sudah bangun sejak subuh untuk mempersiapkan diri. Ia sangat bersemangat memulai hari.

Ia mengenakan baju koko putih yang baru saja disetrika ibunya, peci hitam yang dibelikan ayahnya, dan sandal jepit yang bersih setelah dicuci semalam.

"Jangan lupa sarapan, Ndun. Perut kosong bikin kamu nggak bisa fokus Le," kata ibunya sambil menyodorkan sepiring nasi hangat dan sayur sop. Ndun melahapnya dengan lahap, tapi sedikit terlalu cepat hingga tersedak.

"Pelan-pelan to Ndun! Jangan sampai kamu keselek terus suaramu serak lagi," canda Pak Bambang. Ndun hanya tersenyum sambil mengelap mulutnya.

Bertepatan dengan hari libur, lomba Isra’ Mi’raj diadakan pagi hari. Sehingga, banyak para orang tua yang ramai-ramai mengantar anaknya. Sesampainya di lokasi, suasana terasa begitu ramai. Ada peserta yang sedang latihan terakhir, ada juga yang sibuk memperbaiki penampilan. Ndun mulai merasa gugup. Tangannya sedikit gemetar ketika ia menggenggam daftar peserta. Namanya berada di urutan ketujuh.

"Semoga nomor tujuh ini angka keberuntungan," gumamnya untuk menyemangati diri sendiri.

Saat giliran Ndun tiba, ia berjalan ke depan dengan langkah kecil, mencoba terlihat percaya diri. Mikrofon sudah siap di depannya, dan semua mata tertuju padanya. Sebelum mulai, ia menarik napas dalam-dalam seperti yang dilakukannya ketika berlatih.

Azan mulai dilantunkan, suara Ndun terdengar lembut dan merdu. Setiap kalimat ia lantunkan dengan hati-hati, penuh penghayatan. Di tengah-tengah, ia sempat merasa gugup lagi, tapi ia mengingat apa yang pernah dikatakan ayahnya agar mengikuti lomba ini diniatkan untuk ibadah.

Ketika selesai, orang-orang di depan panggung belum ada yang bertepuk tangan. Bahkan juri masih tampak sibuk menilai suara Ndun. Ndun turun dari panggung, ia merasa lega. "Kayaknya tadi bagus," pikirnya sambil tersenyum tipis. Tanpa peduli dengan respon orang-orang yang melihat ia tampil.

Setelah semua peserta selesai tampil dari berbagai lomba yang diadakan, tibalah saat yang paling mendebarkan yaitu pengumuman pemenang. Ndun berdiri di antara teman-temannya, menggenggam pecinya erat-erat. Jantungnya berdebar seperti genderang perang.

"Juara tiga... diraih oleh Danu dari TPQ Al-Firdaus!" Suara tepuk tangan membahana saat Danu maju ke depan untuk menerima hadiah.

"Juara dua... diraih oleh Ndun dari TPQ Ar-Rahman!"

Mendengar namanya disebut, Ndun terkejut sekaligus jengkel. Ia kesal karena tidak mendapatkan juara satu. Meskipun wajahnya berseri-seri, tidak bisa dipungkiri bahwa ia kecewa tidak bisa membawa piala juara satu yang ingin ditunjukkan pada Bu Sih dan Pak Bambang.

Ketika juara pertama diumumkan, ternyata pemenangnya adalah  Hani, dari TPQ An-Nuur yang suaranya memang sangat luar biasa. Saat selesai tampil, Hani memperoleh tepuk tangan yang sangat riuh.

Di perjalanan pulang, Bu Sih dan Pak Bambang yang datang menyusul tampak sumringah karena Ndun memperoleh juara kedua. Berbeda dengan Ndun yang masih cemberut karena tidak mendapat juara satu.

“Le, sebetulnya ndak papa lho kamu nggak juara satu?” celetuk Pak Bambang tiba-tiba.

“Kenapa, Yah?” tanya Ndun dengan ekspresi kaget.

“Pertama, kamu sudah mulai belajar untuk ndak menyerah. Terus juga, mulai belajar buat melakukan sesuatu dengan niat ibadah. Bapak seneng banget Le, lihat perkembangan kamu,” ungkap ayah Ndun.

“Dengerin baik-baik itu Le omongan Ayahmu! Ya sudah, buat syukuran hari ini gimana kalau nanti sore kita makan di warung baksonya Pak Hadi?” tanya Bu Sih menanggapi obrolan ayah dan anak itu.

“Lho iya Bu e, aku udah lama pingin banget makan bakso pedas,” ungkap Ndun yang ekspresinya berubah jadi lebih ceria.

Sorenya, Bu Sih, Pak Bambang dan Ndun berangkat ke warung bakso Pak Hadi untuk merayakan kemenangan Ndun di lomba Isra’ Mi’raj hari ini.

Posting Komentar