Kutukatakutu ALt

Karya Ketigabelas-Tantangan 41 Hari Menulis



TAPI 
(Sutardji Calzoum Bachri)
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah !

Sebenarnya adakah yang benar memahami, atau pernah menemui nyata adanya cinta tanpa syarat?

Seperti apa itu? Saya sering mendengarnya, tapi jujur belum pernah menemui dalam kenyataan. Apakah seperti cinta Sayyidah Fatimah kepada Sayyidina Ali, Romeo kepada Juliet, atau seperti cinta Laila kepada Majnun? Seperti apa?

Apa yang mereka bilang tentang cinta tanpa syarat itu malah memiliki banyak syarat bukan? Sama seperti pada puisi "Tapi" karya Sutardji Calzoum Bachri di atas. Hanya sekedar berucap cinta sebagai tanda kesungguhan, ternyata masih ada banyak hal yang diminta. Tetapi malah tidak memuaskan. 

Saya begitu setuju apabila konsep cinta tanpa syarat itu tidak ada. Karena, semakin kalimat itu digaungkan, syarat yang diminta muncul semakin banyak. Apakah ketulusan itu dinilai dari seberapa bisa kita memenuhi syarat-syarat yang diajukan? Dalam puisi "Gaung Memuja,"  saya akan mencoba bertanya kepada pembaca yang budiman, benarkah ada cinta tanpa syarat itu?



Gaung Memuja

Oleh: Chusnul C

Tanpa sesaji
Tanpa kemenyan
Tanpa bunga tujuh rupa
Tanpa nyala lilin
Tanpa lagu puja


Masihkah kau anggap aku ada

Aku sungguh mencinta
Sungguh dalam melebihi dalam mariana
Aku sungguh memuja
Meski tak kupunya gemerlap harta
Aku hanya punya doa
Dari sekian lama mengembara

Sudikah engkau menjadi pelengkap sepotong hati yang mulai meronta
Mengharap ada yang menerima meski sebatas gaung memuja

Posting Komentar