Menjelang maghrib Bu Sih datang kembali mengembalikan motor yang tadi beliau pinjam. Ibuku yang sedang mempersiapkan makanan untuk buka puasa, tergopoh menghampiri Bu Sih di ruang tamu.
“Bu Win, matursuwun motornya saya kembalikan, maaf lama banget soalnya di klinik agak rame, jadi antrinya lama,” ucap Bu Sih pada Ibuku.
“Walah ndak papa wong namanya juga lagi perlu, apalagi ke klinik kan. Oh iya, Pak Bambang ke mana Bu Sih kok tumben njenengan sendiri yang pinjam motor?”
“Bapaknya Ndun lagi ada keperluan ke luar kota Bu Win. Paling besok baru pulang.”
“Lho terus tadi kenapa Bu kok tiba-tiba ke klinik? Siapa to yang sakit?”
“Ya Si Ndun, Bu Win, mau siapa lagi? Ndun itu sore-sore ada aja kelakuannya. Yowis Bu Win, saya pamit dulu, habis ini kan mau buka puasa. Matursuwun nggih Bu Win, monggo.”
“Oh Si Ndun. Inggih Bu, sami-sami,” ucap Ibuku yang kemudian segera masuk kembali ke rumah melanjutkan persiapan berbuka puasa bersamaku dan Ayah.
Setelah berbuka puasa, kami sholat maghrib berjamaah, dan bersiap untuk berangkat tarawih di mushola terdekat.
—
Hari ini aku libur bekerja, akhir pekan benar-benar membuatku ingin jalan-jalan sekedar melepas penat. Hanya saja karena masih awal bulan puasa, banyak toko-toko jajanan yang tutup. Kalaupun ada yang buka, pastinya masih setelah ashar.
Bu Minah, tukang sayur yang biasa berjualan di pagi hari, kini beliau berkeliling menjajakan dagangannya mendekati waktu ashar, alasannya supaya nanti orang-orang yang berbelanja bisa segera memasak. Saat Ibu akan berbelanja ke Bu Minah di depan rumah, aku mengikuti beliau untuk melihat-lihat makanan apa yang menarik untuk buka puasa nanti.
“Lho Mbak Lina, tumben di rumah, lagi libur to Mbak?” tanya Bu Minah.
“Inggih Bu, lagi libur kerjanya hehehe.”
“Ini Mbak Lina, aku bawa macem-macem sayur, buah, ada dawet, cincau juga buat buka puasa nanti, siapa tau Mbak Lina mau borong semua,” ucap Bu Minah.
“Hehe, kalau diborong semua nanti diomelin sama Ibu, Bu Minah, kebanyakan belanjanya nanti bingung kalau makan,” ucapku. Tampak Ibu melirikku sekilas, entahlah apa arti dari lirikan itu.
“Bu Minah, sayur sop sama melonnya ada?” tanya Bu Sih yang menghampiri kami bertiga.
“Ada Bu Sih, ini sayur sopnya tinggal dua, melonnya tinggal satu,” jawab Bu Minah.
“Iya ini aja wes, berapa Bu?”
“Sopnya 4.000-an dua, sama melonnya satu bulat ini 26.000 Bu Sih, total 34.000 nggih.”
Bu Sih memberikan uang pas sesuai jumlah yang disebutkan Bu Minah.
“Bu Sih, kemarin yang sakit siapa to?” tanya Ibuku.
“Si Ndun, Bu. Siang pulang sekolah kan biasanya langsung pulang, apalagi bulan puasa kan, harusnya sebelum dzuhur sudah di rumah. Lah kemarin hampir jam satu siang kok belum pulang. Lagian kalau ngaji di TPA kan ya sore to, atau paling sebelum ashar.”
“Ternyata Ndun ke mana Bu?” sahutku.
“Ya itu Lin, mokel. Dia diajak sama Bagas, sama siapa lagi itu, empat orang, Lin. Berlima ini, sembunyi-sembunyi di dekat kebun Pak Bakri bawa makanan. Ngerti Lin, mereka makan apa?”
Aku menggeleng.
“Rujak mangga muda. Ndun bilang mangga mudanya nyolong di depan rumahmu itu. Katanya penasaran sama rujak mangga muda, mana sambalnya pakai cabe lima. Apa ya ndak mules-mules itu anak-anak. Wes-wes, pulang-pulang sakit perutnya. Dia baru ngaku sepulang dari klinik.”
Sontak aku, Ibu, dan Bu Minah menertawakan tingkah Si Ndun, walah Ndun ada aja kelakuanmu.
“Salah Bapaknya nggak ada di rumah lagi Lin.”
“Oh ya pantes, beberapa hari yang lalu dia tanya mangga muda Bu Sih. Ndak tau kalau ternyata ada misi tersembunyi,” timpalku.
“Lha iya itu Lin, untungnya tadi pagi diarenya udah berhenti. Kalau masih belum, pusing aku, Lin. Bisa-bisa jadi nunggu di rumah sakit, mana bulan puasa gini.”
Bu Minah dan Ibuku masih saja terkekeh mendengar cerita dari Bu Sih. Dasar Si Ndun, siang-siang batalin puasa, malah diare gara-gara cabe lima.
—
Mendengar omelan Bu Sih dan Ndun tadi mengingatkanku pada tingkahnya yang mokel malah kena diare. Lagi pula, aku yang segini saja belum tentu berani makan rujak mangga muda pakai cabe lima, lha itu bocil-bocil malah uji nyali.
“Ndun, ini puasa sudah kurang beberapa hari lagi lho. Ndang disaur, nanti kamu lupa lagi, ngomel ke Ibu, bilang nggak diingetin,” ucap Bu Sih yang masih terdengar hingga dapur rumahku.
“Iya Bu, besok wes besok, wong cuman satu aja lho. Eh dua se,” jawab Ndun.
“Besok-besok jangan mokel lagi lho Ndun, nanti diare lagi Ibu yang bingung. Iya kalau Bapakmu di rumah, kalau endak susah nanti. Inget lho ya!”
“Iya wes terakhir kok yang kemarin.”
Gara-gara Si Ndun diomelin, aku jadi ingat hutang puasa yang belum kubayar, kalau kalian bagaimana? Jangan lupa bayar hutang puasa juga ya, Ramadhan sebentar lagi 🎶
Posting Komentar