“Ndun, latihan adzan dulu di kamar. Jangan terlalu keras, nanti bikin Ayah kaget lagi,” pesan Bu Sih saat mendengar Ayah Ndun mengomel pada Ndun.
“Iya, Bu!” jawab Ndun mantap.
Esok harinya, sepulang sekolah. Ia masuk kamar, mengatur posisi berdiri, dan mulai mencoba. “Allahu Akbar… Allahu Akbar…” suaranya melengking tinggi, terdengar seperti ayam berkokok yang baru belajar.
Ayah yang sedang membaca koran di ruang tamu siang itu, langsung melongok ke arah kamar. “Ndun! Itu adzan apa seruling patah?” serunya.
Ndun menahan tawa. “Aku masih latihan, Yah! Besok kalau sudah lancar, Ayah pasti bangga.”
“Bagus, semangat terus, Ndun! Tapi ingat, adzan itu bukan sekadar suara keras. Harus ada iramanya,” ujar Ayah.
Ndun mengangguk. Ia pun melanjutkan latihannya. Namun, tak lama kemudian, ia merasa lelah.
“Bu, gimana sih biar nggak serak pas latihan?” tanyanya sambil keluar kamar menuju ke dapur menemui Bu Sih.
“Minum air hangat, terus makan permen jahe biar tenggorokannya enak,” jawab Bu Sih sambil menyodorkan segelas air hangat.
Ndun duduk di kursi kecil dekat kompor, meneguk air itu dengan wajah serius. Setelah itu, ia mulai latihan lagi, kali ini dengan gaya yang lebih dramatis. Tangannya diangkat seperti muadzin di masjid besar, dan suaranya ia buat sedalam mungkin.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…”
Memandang Ndun mencoba berlatih adzan lagi, Bu Sih bertanya, “Ndun, kalau lomba nanti, hadiahnya apa to? Kok kamu semangat banget ikutan.”
“Hadiah utamanya piala besar!” jawab Ndun dengan mata berbinar.
“Kalau kalah?”
Ndun melongo, lalu berkata dengan percaya diri, “Aku nggak bakal kalah!”
Hari-hari berlalu, dan Ndun semakin rajin berlatih. Kadang ia merekam suaranya dengan ponsel Ayah untuk mendengar kekurangannya. Kadang pula ia mempraktikkan adzan di depan cermin sambil membayangkan dirinya berdiri di masjid besar.
“Pokoknya Ndun harus menang,” gumamnya suatu malam. Ia bahkan lupa sudah berapa kali mengulang latihan itu.
Namun, di sela semangatnya, Bu Sih mengingatkan, “Ndun, menang atau kalah itu urusan belakangan. Hal penting yang perlu kamu ingat, kamu ikhlas belajar dan mengamalkan adzan dengan sungguh-sungguh.”
Ndun tersenyum. “Iya, Bu. Tapi kalau menang, boleh minta sepeda baru, kan?” godanya sambil menyeringai.
Bu Sih menggeleng sambil tertawa. “Ya, kita lihat nanti!”
Posting Komentar